Jumat, 22 November 2013

Perspektif Sosiologi Klasik Kapitalisme-nya Marx dan Weber: Sebuah Catatan Ringkas



Tulisan ini tak lebih hanya merupakan sebuah ringkasan pengantar pokok persoalan dalam memahami sosiologi klasik, bahwa istilah klasik, yang secara sintaksis berfungsi sebagai atribut frase nominal dan secara semantis menunjuk arti yang lebih khusus, memiliki signifikasi ideologis selain sebagai istilah teknis akademis dan bahwa keduanya itu mewakili persoalan sejarah perkembangan ilmu sosiologi dan perkembangan masyarakat modern awal, khususnya Eropa dan Amerika. 


Akan tetapi, dalam pandangan yang kurang lebih ‘netral’,  keduanya tidak berada pada hubungan yang eksklusif (tertutup) dengan berpijak argumen bahwa teori sosiologi klasik selalu memuat kepentingan ideologis dalam melegitimasikan otonomi dan prestisnya sebagai disiplin ilmu yang independen. Kelihatan dari agumen ini, usaha untuk keluar dari kutub pemahaman bahwa disiplin ilmu ini memiliki fungsi praktis-ideologis dalam menjustifikasikan tatanan politik yang mapan –dengan demikian ideologi dipahami sebagai sebuah usaha untuk mengorganisasikan peran dan komitmen sosial bersama berkaitan dengan persoalan sosial politik dan ekonomi.  

Meski demikian,  keduanya toh berada konteks sejarah dan persoalan sejarah awal perkembangan masyarakat Eropa dan Amerika modern yang sama. Dalam satu bab kata pendahuluan studi karya Marx, Durkheim, dan Weber[1], Anthony Giddens menuliskan satu kutipan menarik pidato pengukuhan Lord Acton di Cambridge pada tahun 1895 yang mengemukakan keyakinan adanya suatu ‘garis bukti yang tampak’ yang membatasi abad modern Eropa dengan abad sebelumnya: bahwasanya, zaman modern menggantikan abad pertengahan bukan dengan ‘cara pergantian biasa’ tanpa syarat-syarat ketentuan yang sah:  

Tanpa digembor-gemborkan, zaman modern mendirikan orde baru yang didasari oleh suatu hukum inovasi yang terus melemahkan berlangsungnya kekuasaan kuno. Dalam masa-masa itu, Columbus menumbangkan gagasan-gagasan dunia dan memutarbalikan kondisi-kondisi produksi, kekayaan dan kekuasaan, dalam hari-hari tersebut Machiaveli membebaskan pemerintah dari pengekangan hukum, Erasmus mengalihkan arus ajaran lama dari alam duniawi ke saluran-saluran kristen, Luther memutus rantai kekuasaan dan tradisi pada mata rantai yang terkuat, dan Kopernikus menanamkan suatu kekuatan yang tidak terkalahkan, yang menandai kemajuan pada masa yang akan datang untuk selama-lamanya…. Jaman modern  merupakan kelahiran kehidupan baru; dunia berputar pada orbit baru yang ditentukan oleh pengaruh-pengaruh yang sebelumnya tidak dikenal orang[2].     

Acton berpendapat bahwa penghancuran orde tradisional Eropa merupakan sumber perkembangan ilmu sejarah. Dengan kutipan itu, Giddens mengawali pendapatnya bahwa bila renaissance menimpulkan ‘rasa peduli’ terhadap sejarah, revolusi industri Inggris (industrialisasi) –lah yang menyediakan kondisi-kondisi bagi munculnya sosiologi –tentu dengan tidak mengabaikan peran penting revolusi Perancis sebagai katalis bagi kedua perangkat kejadian yang rumit tersebut -revolusi industri Inggris dan renaissance maksudnya.

Kedua momen revolusioner ini pun dilihat secara berbeda dalam pandangan Karl Marx dan Max Weber. Ini secara eksplisit dapat dilihat pada perbedaan pemahaman atas kapitalisme. Namun, dalam tulisan ini saya hanya akan memaparkan keduanya bersama-sama dengan asumsi bahwa di dalamnya ada perbedaan dan kesamaan yang bisa ditarik pembaca dari sini.

Teori Kelas, Pandangan Materialis-Sejarah Marx dan Perubahan Masyarakat


“Pada tahap tertentu perkembangannya, tenaga-tenaga produksi material masyarakat menjadi bertentangan dengan hubungan-hubungan produksi yang ada atau –atau itu hanya sebuah istilah yuridis untuknya- dengan hubungan-hubungan hak milik di dalamnya mereka sampai saat itu bergerak. Dari bentuk-bentuk pengembangan tenaga-tenaga produktif, hubungan-hubungan ini sekarang berubah menjadi belenggu-belenggunya. Mulailah satu tahap revolusi sosial. Dengan perubahan dasar ekonomis, seluruh bangunan atas raksasa itu dijungkir-balikkan dengan lebih lambat atau lebih cepat[3].”

Demikian, Franz Magnis Suseno mengutip uraian karya Marx dan juga karyanya bersama Engels untuk mengawali gagasannya tentang bagaimana Marx menggambarkan mekanisme perubahan (revolusioner, kurang lebih) masyarakat dengan menekankan bahwa perubahan masyarakat merupakan akibat dinamika dalam basis (material) dan bukan dalam bangunan atas.

Basis atau ‘dasar nyata’ ini dipahami sebagai bidang produksi kehidupan material. Bidang ini ditentukan oleh tenaga produktif dan hubungan-hubungan produksi. Tenaga produktif terdiri dari unsur-unsur: alat kerja, manusia dengan kecakapan masing-masing dan pengalaman dalam produksi (teknologi) Dan, hubungan-hubungan produksi dapat dimengerti sebagai hubungan kerjasama atau pembagian kerja dalam struktur organisasional sosial produksi. Keduanya, ditentukan oleh perkembangan tenaga-tenaga produktif, dan berada di bawah tuntutan objektif serta prinsip efektifitas dan efisiensi produksi. 

Sedangkan, bangunan atas dimengerti sebagai proses kehidupan sosial politik spiritual. Unsur penting bangunan ini adalah tatanan institusional dan tatanan kolektif -atau  bangunan-atas ideologis dalam bahasa marxisme.  Tatanan institusional merupakan segala macam lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat di luar bidang produksi seperti: organisasi pasar, sistem pendidikan, kesehatan masyarakat, lalu lintas, hukum dan negara. Sedangkan, tatanan kesadaran kolektif meliputi segala sistem kepercayaan norma-norma, dan nilai-nilai yang memberikan kerangka pengertian, makna, dan orientasi spiritual kepada usaha manusia –termasuk pandangan dunia, agama, filsafat, moralitas, nilai-nilai budaya, seni dan sebagainya.

Dengan pengandaian dominasi struktur kelas dalam masyarakat,  Marx mengajukan argumen bahwa bangunan atas ditentukan basis. Menurut Marx, hubungan-hubungan produksi dalam basis selalu berupa struktur-struktur kekuasaan, tepatnya struktur kekuasaan ekonomis. Hubungan-hubungan itu ditandai dengan kenyataan bahwa bidang produksi dikuasai oleh pemilik. Oleh karena itu, bangunan atas dipahami hanya memberikan legitimasi kekuasaan kelas atas. Dalam arti ini, kekuasaan politis dan spiritual masyarakat selalu mencerminkan struktur kekuasaan kelas-kelas atas terhadap kelas-kelas bawah dalam bidang ekonomi.

Hubungan-hubungan produksi dan sistem hak milik itulah yang menentukan terciptanya struktur kelas. Dalam hal ini, kelas dipahami sebagai golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi dengan pengertian bahwa ciri sebagai kelas baru terpenuhi secara sempurna apabila golongan itu juga menyadari dirinya dan memiliki semangat juang sebagai kelas. 

Menurut Marx, setiap kelas sosial bertindak sesuai dengan kepentingan yang ditentukan oleh situasi objektif: bahwa pemilik berkepentingan mencapai laba dan bertahan dalam persaingan di pasar bebas dan buruh berpentingan atas upah, pengurangan jam kerja, dan usaha untuk menguasai sendiri kondisi-kondisi pekerjaan mereka dan dengan demikian untuk mengambil alih pabrik tempat mereka bekerja dari kelas pemilik. Dapat ditarik satu pemahaman bahwa unsur-unsur penting dalam teori kelas Marx ini: pertama, peran struktural besar atas kesadaran dan moral; kedua, kepentingan kedua kelas tersebut secara objektif bertentangan; ketiga, jelas bahwa bagi Marx kemajuan dalam susunan masyarakat dapat tercapai melalui revolusi. Maka, seluruh pemikiran Karl Marx berdasarkan atas praanggapan bahwa pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial.  Pelaku-pelaku penggerak dinamisme masyarakat bukanlah individu, melainkan kelas sosial.

Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme-nya Weber


Untuk enam pound setahun anda dapat memanfaatkan seratus pound seandainya anda adalah orang yang bijaksana dan jujur
....
Mereka yang membelanjakan satu groat (empat pence) sehari dengan bermalas-malasan berberarti membayar kemalasan melebihi enam pound setahun yang senilai dengan seratus pound sehari
....
Mereka yang kehilangan lima shiling, tidak hanya kehilangan uang sejumlah itu, tetapi kehilangan seluruh keuntungan yang  bisa diperoleh dengan memutarkan uang itu dengan berusaha, dan pada saat dia telah tua sejumlah uang itu akan bisa bertambah cukup banyak[4].

Kutipan ini merupakan ungkapan Benjamin Franklin. Kutipan tersebut oleh Max Weber dipersandingkan (untuk dijadikan perbandingan) pernyataan Ferdinand Kurnberger dalam Picture of American Culture sebagai ungkapan iman kelompok Yankees: "Mereka membuat lilin dan ternak dari manusia." 

Kutipan Kurnberger ini digunakan Weber untuk menjelaskan konsep etos individu yang berpijak pada etika (prinsip-prinsip kebaikan) khusus. Dijelaskan lebih lanjut, pencarian uang dalam tatanan ekonomi modern sejauh dilakukan dengan cara-cara legal adalah hasil dan ekspresi kebajikan dan kecakapan dan panggilan, dan keduanya merupakan Alfa dan Omega etikanya Franklin. Pendapat ini berpijak pada pernyataan Franklin tentang dasar kepercayaannya:Lihatlah manusia yang tekun dalam pekerjaannya! Dia akan dihadapan raja-raja (Amsal 22:29).”    

Akan tetapi, Weber secara hati-hati tidak lantas menyatakan bahwa penerimaan secara sadar pedoman-pedoman etis induvidu, wirausahawan-wirausahawan atau pekerja-pekerja dalam usaha-usaha kapitalistik modern adalah suatu kondisi bagi berlangsungnya eksistensi kapitalisme. Ditegaskannya bahwa ekonomi kapitalistik adalah suatu kosmos raksasa tempat manusia dilahirkan dan menghadapkan dirinya kepada manusia, setidaknya sebagai individu dan sebagai suatu tatanan yang di dalamnya dia harus hidup.

Spirit kapitalisme kemudian dimengerti Weber sebagai tuntutan etis untuk berjuang dengan caranya sendiri menuju supremasi melawan dunia keseluruhan yang penuh dengan kekuatan-kekuatan perang yang saling berlawanan.

(Jogja, 18 Desember 2005)



[1] Giddens Anthony (Karmadibrata, Soeheba, penerj.), Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis terhadap karya tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, Jakarta: UI Press,1986, hlm. xiii.
[2]  Lord Acton: Lectures on Modern History (London, 1960), hlm.19.
[3] Suseno, Franz Magis, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan RevisionismeJakarta: Gramedia, 2000. hlm. 147; sementara uraian penjelasan selanjut mengacu pada hlm. 110-147.
[4] Autobiography (ed. FW Pine , Henry Holt, New York,1916), hlm.112. via Priyasudiarja, Yusup (pernj.), Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme Max Weber, Yogyakarta: Pustaka Promothea, 2003.hlm 77, acuan yang digunakan untuk menjelaskan pemikiran Weber selanjutnya dapat dilihat pada hlm.77-116.  

Selasa, 22 Januari 2013

Ke Safari dari Baju Monyet: Catatan-catatan Saksi Mata, James Danandjaja



"Sebagai dosen pengajar Universitas Indonesia, universitas negeri, pakaian resmi saya ditentukan oleh negara. Baju resmi yang diperlukan untuk acara khusus seperti Hari Kemerdekaan dan yang harus dikenakan setiap bulan tanggal 17 adalah kemeja lengan panjang terbuat dari batik biru muda dengan garis pola biru tua Korpri (Korps Pegawai Negeri) dengan sebuah gambar pohon beringin dicetak pada hampir semua bagian kainnya. Pasangan kemeja ini celana panjang biru tua. Untuk melengkapi seragam ini, di bagian kiri dada, saya sematkan pin Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) berbentuk pohon beringin. Sementara, untuk presiden dan para menterinya, pin tersebut terbuat dari emas, yang bentuknya mengacu elang mitis Hindu Jawa yang menjadi emblem nasional Indonesia: Garuda Pancasila.  Sebagai pelengkap terakhir, banyak pegawai negeri yang senang mengenakan peci hitam. Ada dua macam jenisnya. Yang lebih tinggi biasanya dipakai oleh pegawai golongan lebih tinggi dan yang lebih rendah dikenakan oleh yang lebih rendah.

Umumnya, hanya kalangan pemerintah resmi yang secara ketat taat aturan tersebut. Sementara, kebanyakan pengajar universitas, khususnya di Jakarta, mengenakan pakaian biasa, kemeja Barat dengan kancing leher terbuka. Amat menarik melihat para pengajar yang tidak senang dengan aturan tadi dan menunjukkannya dengan tidak memakai kemeja safari ketika itu diharuskan. Tetapi, biasanya penyimpang aturan itu orang yang vokal mengritik kebijakan pemerintah. Mereka tidak mau mengenakan harnas (istilah Belanda yang berarti baju zirah) sebab tak ingin kehilangan kebebasan personalnya. "

Ini nukilan utuh isi catatan James Danandjaja From hansop to safari dengan anak judul Notes from an eyewitness. Uraian ini merupakan bagian akhir tulisannya, bagian yang lebih dekat waktu catatan tersebut ditulis. Barang kali oleh karenanya, bagian ini ditulis lebih panjang dari pada uraian sebelumnya: turban, kerudung yang rapat menyelimuti semua bagian tubuh, baju muslim ala Timur Tengah yang jadi tren mulai tahun 1980-an dan jaket-kemeja tanpa dasi-peci yang sudah tak lagi jadi simbol nasionalisme, jaket kuning yang dihormati polisi sejak tahun 1966-67 karena jadi seragam mahasiswa yang mendukung lahirnya Orde Baru namun sejak tahun 1974 kehilangan prestisnya di kalangan mahasiswa yang mendukung ketelibatan mahasiswa lain dalam peristiwa Malari, sandaleet Belanda yang tetap populer pada masa perintahan Jepang tetapi akhirnya dilarang dipakai di kampus karena dianggap indentik dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) atau HSI (Himpunan Sarjana Indonesia) yang dianggap simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia), pemakai dasi yang mulai hilang sejak masa pemerintahan militer Jepang, jas putih penutup kemeja lengan panjang dengan dasi dan celana panjang katun putih yang dikenakan pegawai kantor era pemerintahan Belanda pada tahun 1930-an, sarong dan kebaya yang mulai dimodifikasi dengan pakaian Barat, sepatu tumit tinggi yang dipakai perempuan dewasa waktu ke pesta dan selop dikenakan saat di rumah, piyama hitam yang dipakai centeng para tuan tanah, serta kain pelekat yang dipakai anak-anak Muslim kampung atau piyama putih sederhana yang dikenakan bersama peci dan celana congklang yang biasa dikenakan orang-orang Betawi Muslim.

Apa-apa yang dikenakan orang-orang dan kemungkinan mengapa orang berhenti memakainya diceritakan bersama dengan momen-momen sejarah yang dianggap penting.

Apa-apa yang diceritakan tersebut barang kali cara berpendapat seseorang yang telah hidup di berbagai periode terhadap sejarah Indonesia. 

"Saya lahir di Jakarta tahun 1934 dari keluarga kelas menengah peranakan Cina-Betawi. Orangtua saya mendapat pendidikan di sekolah Methodist Inggris, Kristen Protestan yang dipelopori oleh Charles dan John Wesley pada abad ke-18, bapak di Singapura dan ibu di Bogor, Jawa Barat.  Bersama dengan dua saudara laki-laki, saya masuk Sekolah Dasar Kristen Protestan Belanda.

Sebagai anak kecil di rumah, saya memakai satu stel pakaian terusan model Eropa yang disebut hansop atau baju monyet, tanpa lengan, tak ada kancing, potongan kaki pendek, hanya ada dua kancing di bahu. Baju itu punya kantong yang dijahit di perut depan seperti kangguru."

Dari semua itu, saya tertarik dengan kutipan yang saya pahami sebentuk sikap rendah hati orang yang mengalami banyak hal yang belum dialami generasi yang lebih muda: dari baju monyet ke safari, tentang ke safari dari baju monyet.

"Ketika usia makin beranjak tua, keinginan mengingat masa lalu terasa lebih besar dari pada memimpikan masa depan. "  

Jumat, 20 April 2012

Putri-Putri Duyung yang Mendamba’ nya Mangunwijaya: Optimisme Buah Pengetahuan Manusia (Pasca-)Modern?


Berdenyar kepala saya setiap membaca baris demi baris kalimat dalam karya-karyanya, baik novel maupun tulisan-tulisan esainya. Sekilas, saya pikir kekuatan tiap karyanya hanya ada pada ide-ide filosofis, moral atau teologi agama saja. Hal itu memang sering menjadi tekanannya. Namun, ada hal lain yang bagi saya menarik: selera humornya yang kering, kenakalannya dalam membikin-bikin istilah, juga singkatan yang kemudian dijadikannya jargon, atau mempelesetkan suatu perkara dan mempertautkannya dengan hal lain dengan irama bunyi yang senada dengan gaya khas otak-atik gathuk kejawaan-nya yang kosmopolit. Seorang teman yang berfikir nakal menyebut hal ini ciri khas kosmopolitisme orang Jawa, Katolik, Mapan, dan Romo (pastor) lagi. Tetapi, dengan logika bening dan nalar yang terbuka ia menyajikan persoalan yang diangkatnya dengan sebuah renungan yang dalam. Dan, selalu saja kesan itu meninggalkan bekas yang cukup lama mengusik pikiran saya.

Yang hendak saya bagikan dalam tulisan ini, kesan saya terhadap karya revisi YB Mangunwijaya Manusia Pasca Modern Semesta dan Tuhan: Renungan Filsafat Hidup Manusia Modern (edisi revisi Putri Duyung yang Mendamba) terbitan Kanisius tahun 1999. Buku ini saya anggap istimewa karena ini buku pertama yang melengkapi dua bacaan saya: Burung-Burung Rantau (1993) dan Burung-Burung Manyar (1981) Waktu itu, saya masih menunggu datangnya titipan kumpulan esai dan komentar akademisi terhadap karya-karyanya: Menjadi Manusia Pasca Indonesia (1999).

Hal yang bagi saya amat berkesan pada tulisan yang diberi judul besar Manusia Pasca Modern Semesta dan Tuhan ini adalah optimisme yang dibangun dalam tulisannya, menanggapi arus perkembangan sains dan teknologi. Optimisme terhadap terang akal budi ini digambarkannya sebagai kekuatan progresif kereta modernisasi, katalis bagi perubahan dramatis warisan gerak-gerik renaisans: pergeseran dasar pengambilan rumusan kebenaran pengetahuan dari mata indera ke mata intelegensi dan kini malah keduanya.

Copernikus, Galileo, Darwin, Newton, Einstein dan para ilmuan jenius Barat lainnya telah memberikan jalan bagi proses itu. Namun, laju perubahan baru ini juga memberi guncangan yang berarti bagi kemapanan-kemapanan yang ada sebelumnya, termasuk moralitas keagamaan. Legitimasi kekuasaan religius diguncang, dan bilik-bilik kekuasaan monarki tradisional yang tersekat pintu-pintu besi dibuka lebar dengan harapan adanya emansipasi dan demokratisasi. Oleh kemajuan teknologi, peradaban negeri Eropa pun kemudian digerakkan oleh mesin-mesin industri dan asap cerobong pabrik. Begitu, kira-kira bunyi dari perubahan dramatis negeri Eropa pada abad 20-an. Lengkap cerita serunya, tentu dapat dibaca dalam buku-buku (pelajaran) sejarah dunia atau ensiklopedi sejarah bangsa-bangsa.

Perubahan yang dramatis itu digunakan Mangun untuk memberi terang gagasannya tentang religiositas baru manusia pasca modern, yang secara dewasa terbuka dalam menanggapi situasi yang serba baru dalam penghayatan agama, tradisi, adat, alam semesta serta dirinya sendiri dalam sejarah perkembangan bangsa  manusia. Sekularisasi dalam terang akal budi dimaknainya secara positif sebagai proses memperoleh sikap dewasa yang mengakui otonomi wilayah-wilayah pengetahuan serta aktivitas manusia menurut bidang dan tingkat mereka sendiri. Dengan demikian, ia menekankan keterbukaan kepada pluralisme. Namun, diakuinya juga bahwa nalar pun punya batas. Rasa dan kekuatan psikologis memberi sumbangan yang berarti dalam batas tertentu.

Bagi saya, nuansa tulisan ini berkebalikan dengan sinisme tulisan-tulisannya dalam Gerundelan Orang Republik atau Balada Becak, atau keprihatinannya dalam tulisan-tulisannya dalam Puntung-Puntung Rara Mendut. Namun, benang merah visi-visi kemanusiaan universalnya –kalau tak diplintir sebagai kosmopolit- nampak juga dalam roman-romannya: Romo Rahadi; Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa; trilogi novel sejarahnya: Lusi Lindri, Genduk Duku dan Roro Mendut; Durga Umayi, Balada Dara-dara Mendut, Burung-burung Manyar dan Burung-Burung Rantau. Oleh akademisi barat novel-novelnya dianggap melengkapi karya-karya Pram dalam menyajikan gambaran persoalan sejarah Indonesia pada masa kolonial maupun paska kolonial.

Kembali ke tulisan ini, optimisme merupakan antitesis terhadap pesimisme akan batas-batas kekuatan nalar, pengetahuan, teknologi, serta laju modernisasi yang dimotori oleh barat: Eropa dan kemudian Amerika yang memiliki sisi gelap terciptanya kesenjangan si kaya dan miskin, kerusakan ekologis, dsb. Namun, terbuka juga kemungkinan bahwa visi kemanusiaan universal ini didasari oleh keprihatinannya terhadap fragmentasi masyarakat Indonesia ke dalam fundamentalisme agama atau ideologi tertutup.

Namun, hal yang bagi saya amat penting dalam tulisan ini adalah bahwa optimisme ini tampaknya mengarah usaha penemuan dasar kekuatan legitimasi moral dan agama (revitalisasi moral dan agama) oleh terang akal budi (sains). Optimisme ini digerakkan oleh argumen (kembalinya) pengakuan atau peneguhan kebenaran ketuhanan agama –dalam bentuk baru- oleh karena penemuan batas baru kekuatan akal budi (sains dan teknologi).

Optimisme itu dirangkainya dengan metafor putri-putri –ia menekankan sifat-sifat genus femininum ibu: melindungi, memelihara, memberi hidup dsb- duyung yang mendamba….pangeran yang mengajaknya hidup di negeri manusia.

Hiks-hiks-hiks, dalam hidup saya para pangeran nampaknya lebih asyik ngecengi cewe-cewe mall yang ke kampus, tuh Mo!  Dan, saya…kelakuan saya….

(Jogja, 21 April 2005)

Rabu, 28 Maret 2012

Logika Pasar dan Manusia Seri



"Legitimasi masyarakat modern tergantung pada dua hal: kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi. Bila gagal memberikan dua hal itu, masyarakat itu kehilangan hormat dan kesetiaan dari warganya"

(E Gellner, 1998)

*
Rumusan itulah yang dijadikan sebagai sasaran Dr Haryatmoko SJ dalam tulisannyaBudaya Baru:Logika Pasar Menjadi Dominan.

“Apa salahnya?”tanya seorang praktisi media,”Adakah yang salah bila institusi media menggunakan logika itu karena jelas landasannya adalah profit?”

Dalam masyarakat yang demikian, ditanyakannya pula,” Apakah benar kami melulu melayani pemodal? Kami toh justru mengutamakan mutu pelayanan kepada masyarakat. Jika rating naik, oplah naik, iklan akan datang.”

Itu dijawabnya demikian (Haryatmoko, 2007: 73):

Ini kutipan dari tulisan Etika Komunikasi yang dibukukan oleh (Penerbit dan Percetakan) Kanisius. “Ini sekalian iklan” katanya terkekeh.

Betapa pun, prioritas diarahkan kepada orientasi keuntungan, suatu media masih tetap membutuhkan legitimasi yang hanya didapat bila ada manfaat dari publik. Jadi, tidak sepenuhnya benar pernyataan bahwa media di bawah kontrol pemerintah hanya melayani pemerintah dan media swasta hanya melayani kepentingan pemodal.

Ada tiga hal alasan dasarnya (Curran, 2000: 125):
Pertama, media swasta butuh mempertahankan kepentingan audiens supaya tetap menguntungkan. Kedua, mereka harus mendapatkan legitimasi publik untuk menghindari sanksi masyarakat. Ketiga, mereka dapat dipengaruhi oleh keprihatinan profesional dari staf redaksi atau produksi.      

 “Setuju?”

“Ya!” sahut pelan pak praktisi media cetak yang tadi mengajukan pertanyaan sanggahan.

”Paling tidak, dalam hal ini kita damai, ya?” timpalnya sambil terkekeh.

Gerrrr...! Audiens riuh ikut-ikut tertawa.
**
“Ada lagi satu anekdot untuk seorang CEO perusahaan yang bangkrut!” katanya” Kelly namanya.”

Kelly waktu SMA sudah punya jiwa bisnis yang tinggi. Suatu ketika, ia punya uang 500 dollar. Di jalan, ia bertemu seorang petani yang menuntun keledai. Dia melihat untung sekaligus bisa menolong petani itu.

“Boleh saya beli keledai Bapak seharga 500 dollar?” tanyanya” dengan uang ini, Bapak bisa mengembangkan usaha pertanian!”

“O, boleh! Tapi, ini akan saya serahkah besok Minggu pagi. Hari ini, keledai ini harus saya pakai di ladang.”
   
Uang diserahkannya kepada petani itu. Esoknya, datanglah petani itu: tanpa keledai.
Katanya,”Wah, maaf, Pak! Keledainya mati!”

“Kalau begitu, uang saya tolong kembalikan!”

“Wah, ngga bisa, Pak! Uang itu sudah saya pakai untuk beli pupuk!”

“Gimana, nih!? Ngga bertanggung jawab namanya! Ya sudah, bawa ke sini keledai mati itu!”

“Untuk apa, Pak?”

“Ya, terserah saya. Toh, keledai itu sudah saya beli. Tolong, masukan keledai itu dalam peti yang bagus!”

“Oke!” sahut petani itu.

Pulanglah petani itu, dan beberapa waktu kemudian kembali dengan sebuah kotak kayu.

“Untuk apa sih, Pak?” tanyanya masih belum mengerti.

“Sudahlah, diam saja! Keledai mati sudah saya beli dan kamu tidak saya tuntut, masih juga tanya-tanya!”

Setelah itu, tersiar kabar bahwa Kelly telah membeli seekor keledai. Oleh Kelly, keledai itu kemudian dibuatnya lotere seharga 2 dollar. Promosinya,”Dua dollar dapat keledai! Dua dollar dapat keledai!” Lotere itu laku 1000 karcis akhirnya. Jadi, Kelly dapat 2000 dollar.

Selang hari berikutnya, petani itu datang, dan bertanya,”Untuk apa keledai itu?”

“Ya, saya buat lotere.”

“Apa orang-orang ngga protes?”

“Engga!”

“Dari 1000 orang, ngga ada yang protes?”

“Cuma satu yang protes: pemenangnya! Ya, saya kembalikan uang 2 dollarnya!”

Dikatakannya, sistem ekonomi yang terisolasi seperti itulah yang dikritiknya: sistem ekonomi yang membuat orang tidak bisa melawan. 999 orang itu manusia kalah. Dan, oleh Sartre, pemenang lotere itu disebut manusia seri: manusia yang toh tidak bisa melawan!

Masalahnya, saya tak tahu siapa Si Sartre: teman Kelly ato kenalan Romo Haryatmoko? Maaf, saya bahkan tidak tahu banyak soal ketiganya!  

Kamis, 08 Maret 2012

Barbie: Sekedar Boneka Anak Perempuan dan Bisnis Mainan Martel. Inc?




"It's Not the Dolls, It's the Clothes", begitu ulasan Bussiness Week pada awal tahun 1961 untuk menggambarkan keuntungan yang diperoleh Matel, Inc., perusahaan boneka Barbie Amerika Serikat. Anak-anak yang ingin boneka Barbie cukup mengeluarkan kocek orang tuanya US$ 3. Sementara, yang ingin pakaian dan aksesorinya harus merogoh kantong orang tua mereka lebih dalam: US$ 5.

Dalam artikel yang sama, dikatakan Matel telah punya 80 staff kreatif, dan berencana akan menambahnya 20 orang atau lebih tahun berikutnya.

Hasilnya dapat dilihat di ulasan-ulasan berbagai media massa pada tahun-tahun berikutnya yang menandai perkembangan produk dan bisnisnya hingga tahun 1990-an. Separuh nilai penjualan tahun 1991 mencapai US$ 1,4 miliar. Dalam laporan tahunan Martel lima tahun berikutnya, disebutkan keuntungan yang dicapai sebesar US$ 1,7 miliar. Berapa kali lipat keuntungan tahun-tahun berikutnya tentu tidak lagi mengejutkan.

Pertanyaan yang lazim diajukan bagaimana hal itu terjadi? Lazim pula Mary F Rogers mempertanyakan bagaimana perusahaan Matel dapat membuat Barbie menjadi perhatian publik (?) Sebab, keuntungan sedemikian besar itu tak mungkin didapat dengan tidak mengabaikan perhatian publik.

Barang kali, kata-kata persuasif Jil Barad bahwa Barbie tak lain brand kekuatan global yang menjadi sumber inspirasi untuk menggunakan istilah ikon untuk menjawab pertanyaan tadi. Setidaknya, ini terkait dengan penggunaan istilah brand: tanda atau karakteristik identifikasi umum produk perusahaan tertentu.

Sebab, dalam bagian ini saya tidak menemukan penjelasan term ikon meskipun dalam kamus Oxford dijelaskan istilah ini berarti sesuatu yang secara khusus dipahami sebagai simbol resmi atau sebagai bagian berharga sesuatu yang dihormati sungguh.

Dan, saya berfikir (ambil jalan pintas sebab malas untuk mengecek bagian awal sebelum bab The Making of an Icon) bahwa ikon dipakai sebagai istilah umum, bukan istilah khusus yang merujuk pada istilah pemikir tertentu misalnya: Charles Sander Pierce. Ini tentu bukan berarti tidak mengabaikan pentingnya pembedaannya dengan istilah lain yang mirip: simbol dan indeks. Barang kali, ini tak mendesak untuk memperkuat argumen jawaban yang hendak diberikan.

Bahwasanya, Barbie adalah ikon konstruksi perusahaan maka ada baiknya perlu dipahami: kerja-kerja perusahaan untuk menjaga dan mengembangkannya, kerja sama dengan perusahaan lain untuk memperkuat brand dan membiayainya, strategi manajemen untuk menekan ongkos produksi sekaligus mempertahankan kualitas produk dan sumber daya (ide) manusianya serta nilai-nilai yang perlu dikompromikan demi memanggil kembali (kenangan) masa kanak-kanak bagi generasi berikut***