Tulisan ini tak
lebih hanya merupakan sebuah ringkasan pengantar pokok persoalan dalam memahami
sosiologi klasik, bahwa istilah klasik, yang secara sintaksis berfungsi sebagai
atribut frase nominal dan secara semantis menunjuk arti yang lebih khusus,
memiliki signifikasi ideologis selain sebagai istilah teknis akademis dan bahwa
keduanya itu mewakili persoalan sejarah perkembangan ilmu sosiologi dan
perkembangan masyarakat modern awal, khususnya Eropa dan Amerika.
Akan tetapi, dalam pandangan yang kurang lebih ‘netral’, keduanya tidak berada pada hubungan yang
eksklusif (tertutup) dengan berpijak argumen bahwa teori sosiologi klasik
selalu memuat kepentingan ideologis dalam melegitimasikan otonomi dan
prestisnya sebagai disiplin ilmu yang independen. Kelihatan dari agumen ini,
usaha untuk keluar dari kutub pemahaman bahwa disiplin ilmu ini memiliki fungsi
praktis-ideologis dalam menjustifikasikan tatanan politik yang mapan –dengan
demikian ideologi dipahami sebagai sebuah usaha untuk mengorganisasikan peran
dan komitmen sosial bersama berkaitan dengan persoalan sosial politik dan
ekonomi.
Meski demikian, keduanya toh berada
konteks sejarah dan persoalan sejarah awal perkembangan masyarakat Eropa dan
Amerika modern yang sama. Dalam satu bab kata pendahuluan studi karya Marx,
Durkheim, dan Weber[1], Anthony Giddens menuliskan satu kutipan
menarik pidato pengukuhan Lord Acton di Cambridge pada tahun 1895 yang
mengemukakan keyakinan adanya suatu ‘garis bukti yang tampak’ yang membatasi
abad modern Eropa dengan abad sebelumnya: bahwasanya, zaman modern menggantikan
abad pertengahan bukan dengan ‘cara pergantian biasa’ tanpa syarat-syarat
ketentuan yang sah:
Tanpa digembor-gemborkan, zaman modern mendirikan
orde baru yang didasari oleh suatu hukum inovasi yang terus melemahkan
berlangsungnya kekuasaan kuno. Dalam masa-masa itu, Columbus menumbangkan
gagasan-gagasan dunia dan memutarbalikan kondisi-kondisi produksi, kekayaan dan
kekuasaan, dalam hari-hari tersebut Machiaveli membebaskan pemerintah dari
pengekangan hukum, Erasmus mengalihkan arus ajaran lama dari alam duniawi ke
saluran-saluran kristen, Luther memutus rantai kekuasaan dan tradisi pada mata
rantai yang terkuat, dan Kopernikus menanamkan suatu kekuatan yang tidak
terkalahkan, yang menandai kemajuan pada masa yang akan datang untuk
selama-lamanya…. Jaman modern merupakan
kelahiran kehidupan baru; dunia berputar pada orbit baru yang ditentukan oleh
pengaruh-pengaruh yang sebelumnya tidak dikenal orang[2].
Acton berpendapat bahwa penghancuran orde tradisional Eropa merupakan
sumber perkembangan ilmu sejarah. Dengan kutipan itu, Giddens mengawali
pendapatnya bahwa bila renaissance menimpulkan ‘rasa peduli’ terhadap
sejarah, revolusi industri Inggris (industrialisasi) –lah yang menyediakan
kondisi-kondisi bagi munculnya sosiologi –tentu dengan tidak mengabaikan peran
penting revolusi Perancis sebagai katalis bagi kedua perangkat kejadian yang
rumit tersebut -revolusi industri Inggris dan renaissance maksudnya.
Kedua momen
revolusioner ini pun dilihat secara berbeda dalam pandangan Karl Marx dan Max Weber. Ini
secara eksplisit dapat dilihat pada perbedaan pemahaman atas kapitalisme.
Namun, dalam tulisan ini saya hanya akan memaparkan keduanya bersama-sama
dengan asumsi bahwa di dalamnya ada perbedaan dan kesamaan yang bisa ditarik
pembaca dari sini.
Teori Kelas, Pandangan
Materialis-Sejarah Marx dan Perubahan Masyarakat
“Pada tahap
tertentu perkembangannya, tenaga-tenaga produksi material masyarakat menjadi
bertentangan dengan hubungan-hubungan produksi yang ada atau –atau itu hanya
sebuah istilah yuridis untuknya- dengan hubungan-hubungan hak milik di dalamnya
mereka sampai saat itu bergerak. Dari bentuk-bentuk pengembangan tenaga-tenaga
produktif, hubungan-hubungan ini sekarang berubah menjadi belenggu-belenggunya.
Mulailah satu tahap revolusi sosial. Dengan perubahan dasar ekonomis, seluruh
bangunan atas raksasa itu dijungkir-balikkan dengan lebih lambat atau lebih
cepat[3].”
Demikian, Franz Magnis Suseno mengutip uraian karya Marx dan juga karyanya
bersama Engels untuk mengawali gagasannya tentang bagaimana Marx menggambarkan
mekanisme perubahan (revolusioner, kurang lebih) masyarakat dengan menekankan
bahwa perubahan masyarakat merupakan akibat dinamika dalam basis (material) dan
bukan dalam bangunan atas.
Basis atau
‘dasar nyata’ ini dipahami sebagai bidang produksi kehidupan material. Bidang ini ditentukan oleh tenaga
produktif dan hubungan-hubungan produksi. Tenaga produktif terdiri dari
unsur-unsur: alat kerja, manusia dengan kecakapan masing-masing dan pengalaman
dalam produksi (teknologi) Dan, hubungan-hubungan produksi dapat dimengerti
sebagai hubungan kerjasama atau pembagian kerja dalam struktur organisasional
sosial produksi. Keduanya, ditentukan oleh perkembangan tenaga-tenaga
produktif, dan berada di bawah tuntutan objektif serta prinsip efektifitas dan
efisiensi produksi.
Sedangkan,
bangunan atas dimengerti sebagai proses kehidupan sosial politik spiritual.
Unsur penting bangunan ini adalah tatanan institusional dan tatanan kolektif
-atau bangunan-atas ideologis dalam
bahasa marxisme. Tatanan institusional
merupakan segala macam lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat di luar bidang
produksi seperti: organisasi pasar, sistem pendidikan, kesehatan masyarakat,
lalu lintas, hukum dan negara. Sedangkan, tatanan kesadaran kolektif meliputi
segala sistem kepercayaan norma-norma, dan nilai-nilai yang memberikan kerangka
pengertian, makna, dan orientasi spiritual kepada usaha manusia –termasuk
pandangan dunia, agama, filsafat, moralitas, nilai-nilai budaya, seni dan
sebagainya.
Dengan pengandaian dominasi struktur kelas dalam masyarakat, Marx mengajukan argumen bahwa bangunan atas
ditentukan basis. Menurut Marx, hubungan-hubungan produksi dalam basis selalu
berupa struktur-struktur kekuasaan, tepatnya struktur kekuasaan ekonomis.
Hubungan-hubungan itu ditandai dengan kenyataan bahwa bidang produksi dikuasai
oleh pemilik. Oleh karena itu, bangunan atas dipahami hanya memberikan
legitimasi kekuasaan kelas atas. Dalam arti ini, kekuasaan politis dan
spiritual masyarakat selalu mencerminkan struktur kekuasaan kelas-kelas atas
terhadap kelas-kelas bawah dalam bidang ekonomi.
Hubungan-hubungan produksi dan sistem hak milik itulah yang menentukan
terciptanya struktur kelas. Dalam hal ini, kelas dipahami sebagai golongan
sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu
dalam proses produksi dengan pengertian bahwa ciri sebagai kelas baru terpenuhi
secara sempurna apabila golongan itu juga menyadari dirinya dan memiliki
semangat juang sebagai kelas.
Menurut Marx, setiap kelas sosial bertindak sesuai dengan kepentingan yang
ditentukan oleh situasi objektif: bahwa pemilik berkepentingan mencapai laba
dan bertahan dalam persaingan di pasar bebas dan buruh berpentingan atas upah,
pengurangan jam kerja, dan usaha untuk menguasai sendiri kondisi-kondisi
pekerjaan mereka dan dengan demikian untuk mengambil alih pabrik tempat mereka
bekerja dari kelas pemilik. Dapat ditarik satu pemahaman bahwa unsur-unsur
penting dalam teori kelas Marx ini: pertama, peran struktural besar atas
kesadaran dan moral; kedua, kepentingan kedua kelas tersebut secara objektif
bertentangan; ketiga, jelas bahwa bagi Marx kemajuan dalam susunan masyarakat
dapat tercapai melalui revolusi. Maka, seluruh pemikiran Karl Marx berdasarkan
atas praanggapan bahwa pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas
sosial. Pelaku-pelaku penggerak
dinamisme masyarakat bukanlah individu, melainkan kelas sosial.
Etika Protestan dan Spirit
Kapitalisme-nya Weber
Untuk enam pound setahun anda dapat memanfaatkan
seratus pound seandainya anda adalah orang yang bijaksana dan jujur
....
Mereka yang membelanjakan satu groat (empat pence)
sehari dengan bermalas-malasan berberarti membayar kemalasan melebihi enam
pound setahun yang senilai dengan seratus pound sehari
....
Mereka yang
kehilangan lima shiling, tidak hanya kehilangan uang sejumlah itu, tetapi
kehilangan seluruh keuntungan yang bisa
diperoleh dengan memutarkan uang itu dengan berusaha, dan pada saat dia telah
tua sejumlah uang itu akan bisa bertambah cukup banyak[4].
Kutipan ini merupakan ungkapan Benjamin Franklin. Kutipan tersebut oleh Max
Weber dipersandingkan (untuk dijadikan perbandingan) pernyataan Ferdinand
Kurnberger dalam Picture of American Culture sebagai ungkapan iman
kelompok Yankees: "Mereka membuat lilin dan ternak dari manusia."
Kutipan Kurnberger ini digunakan Weber untuk menjelaskan konsep etos individu yang berpijak pada etika (prinsip-prinsip kebaikan) khusus. Dijelaskan lebih lanjut, pencarian uang dalam tatanan ekonomi modern sejauh dilakukan dengan cara-cara legal adalah hasil dan ekspresi kebajikan dan kecakapan dan panggilan, dan keduanya merupakan Alfa dan Omega etikanya Franklin. Pendapat ini berpijak pada pernyataan Franklin tentang dasar kepercayaannya:“Lihatlah manusia yang tekun dalam pekerjaannya! Dia akan dihadapan raja-raja (Amsal 22:29).”
Kutipan Kurnberger ini digunakan Weber untuk menjelaskan konsep etos individu yang berpijak pada etika (prinsip-prinsip kebaikan) khusus. Dijelaskan lebih lanjut, pencarian uang dalam tatanan ekonomi modern sejauh dilakukan dengan cara-cara legal adalah hasil dan ekspresi kebajikan dan kecakapan dan panggilan, dan keduanya merupakan Alfa dan Omega etikanya Franklin. Pendapat ini berpijak pada pernyataan Franklin tentang dasar kepercayaannya:“Lihatlah manusia yang tekun dalam pekerjaannya! Dia akan dihadapan raja-raja (Amsal 22:29).”
Akan tetapi,
Weber secara hati-hati tidak lantas menyatakan bahwa penerimaan secara sadar
pedoman-pedoman etis induvidu, wirausahawan-wirausahawan atau pekerja-pekerja
dalam usaha-usaha kapitalistik modern adalah suatu kondisi bagi berlangsungnya
eksistensi kapitalisme. Ditegaskannya bahwa ekonomi kapitalistik adalah suatu
kosmos raksasa tempat manusia dilahirkan dan menghadapkan dirinya kepada
manusia, setidaknya sebagai individu dan sebagai suatu tatanan yang di dalamnya
dia harus hidup.
Spirit
kapitalisme kemudian dimengerti Weber sebagai tuntutan etis untuk berjuang
dengan caranya sendiri menuju supremasi melawan dunia keseluruhan yang penuh
dengan kekuatan-kekuatan perang yang saling berlawanan.
(Jogja, 18 Desember 2005)
[1]
Giddens Anthony (Karmadibrata, Soeheba, penerj.), Kapitalisme dan Teori
Sosial Modern: Suatu Analisis terhadap karya tulis Marx, Durkheim dan Max Weber,
Jakarta : UI
Press,1986, hlm. xiii.
[2] Lord Acton: Lectures on Modern History
(London , 1960),
hlm.19.
[3]
Suseno, Franz Magis, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme, Jakarta : Gramedia, 2000.
hlm. 147; sementara uraian penjelasan selanjut mengacu pada hlm. 110-147.
[4]
Autobiography (ed. FW Pine , Henry Holt, New York ,1916), hlm.112. via
Priyasudiarja, Yusup (pernj.), Etika Protestan dan Semangat
Kapitalisme Max Weber, Yogyakarta : Pustaka
Promothea, 2003.hlm 77, acuan yang digunakan untuk menjelaskan pemikiran Weber
selanjutnya dapat dilihat pada hlm.77-116.